Sudah jadi tradisi rasanya, bahwa setiap jelang Idul Fitri umat Islam berbondong-bondong ke pusat perbelanjaan atau pasar tradisional, tidak hanya untuk belanja kebutuhan sehari-hari yang dialokasikan untuk keperluan dapur, tapi juga berburu bahan pakaian atau pakaian jadi untuk 'bekal lebaran'. Pasar penuh dengan ibu-ibu!!! Semangat mereka untuk membahagiakan keluarganya di akhir Ramadhan, makin berkobar di 10 hari terakhir. Ini mengingatkanku pada masa kecil dulu...
Saat kami masih kecil-kecil, ibu pun tak kalah semangat untuk membahagiakan kami, 4 putrinya, dengan menyiapkan baju baru untuk dikenakan di hari fitri. Tak jarang, dilengkapi pula dengan baju lain untuk dipakai dalam kunjungan silaturahmi dengan teman dan kerabat di bulan Syawal itu. Prinsip ibu yang masih kukenang sampai kini adalah jangan sampai kita ‘menjual kemiskinan’. Maksudnya, walaupun kami sebetulnya dari keluarga yang biasa-biasa saja cenderung pas-pasan, tapi jangan sampai kami menunjukkan kemelaratan di depan orang lain jika sekiranya hal itu akan menimbulkan rasa iba atau bahkan lebih jauh, cibiran yang merendahkan.
Tapi tak ada maksud menyombongkan diri pula jika kita mengenakan pakaian baru untuk menyambut Idul Fitri. Sejatinya, itu pun untuk mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkan pada kami. Dalam beberapa kesempatan Idul Fitri, cukup sering kami berempat mengenakan pakaian yang nyaris seperti seragam. Tak jarang ibu membeli kain dan menjahit sendiri baju-baju untuk kami. Biar ketahuan kali... kami masuk 'clan' mana. Biar nggak gampang ketuker juga :p
Beberapa baju masa lalu itu, beberapa di antaranya memorable banget, ya karena modelnya, atau juga karena proses panjang yang dilaluinya hingga menjadi baju lebaran kami. Ibu senang menjahit sendiri baju-baju kami. Selain menyesuaikan dengan ukuran badan kami, juga sedikit banyak bisa menghemat pengeluaran untuk pos baju lebaran ini. Kami anak-anaknya pun tak jarang ikut berperan dalam proses pembuatannya. Aku sesekali diutus ke tukang obras langganan dengan membawa kain yang baru digunting sesuai pola. Kadang aku pergi juga untuk membeli benang, kancing atau ritsleting. Tak jarang pula kami ikut membantu memasang kancing atau mengelim baju hingga siap dikenakan . Proses ini sekaligus jadi pengingat beratnya jerih payah bapak dan ibu untuk memberi kebahagiaan pada kami di hari fitri yang dinanti-nanti.
Baju brokat dengan model kembaran kecuali kakak sulungku. |
Baju kotak-kotak buat jalan saat silaturahmi. The sulung ogah samaan :p (mampir di Alun-alun Bandung buat foto-foto) |
Kembaran baju merah hasil jahitan ibu. Aku suka kancingnya :D |
Tahun-tahun setelah bapak… lalu ibu pun tiada, baju lebaran itu tinggal jadi memori saja. Bila ada cukup dana yang bisa dialokasikan, aku bisa saja mengupayakan baju baru untuk dikenakan saat shalat eid, untuk menghormati hari raya itu, dengan mengenakan pakaian terbaik saat melaksanakan ibadah yang istimewa. Tapi kalaupun budget pas-pasan, aku cukup mengeluarkan pakaian koleksi lama yang ‘didaur-ulang’ dengan trik mix n match untuk memberikan kesan yang berbeda.
Idul fitri, bukankah esensinya adalah kembalinya kita pada kesucian, kebersihan hati, bukan kebersihan dompet gegara habis dibelanjakan sana-sini. Selamat menyambut hari raya yaa, semuanya.
#CeritaLebaran ini diikutsertakan di event giveaway-nya mbak Dian Andari Yuan. Ayo, kamu juga boleh banget berbagi #CeritaLebaran beserta keunikan tradisi dan memorinya. Cek syarat dan ketentuannya di sini yaa...